Rumah Tangga Bahagia

Rumah Tangga Bahagia
Oleh : Lani

1.       Alasan Manusia Menikah


Seperti tumbuhan yang jika dirawat akan menghasilkan benih kemudian bertumbuh lalu menjadi tumbuhan baru. Terus menerus hal itu terjadi,  sebab kalau saja tidak ada rasa cinta kita kepada tumbuhan dan merawatnya mungkin saja dunia ini akan gersang dan sangat panas. Makhluk-makhluk akan mati dengan sangat cepat tanpa ada regenerasi dan bisa saja kiamat sudah dekat karena alam sudah tidak lagi bersahabat. Begitu juga dengan kehidupan manusia, apabila sudah tidak ada cinta kasih dan belas kasih terhadap sesamanya maka dunia ini menuju pada kebinasaan. Perlahan tapi pasti. Hukum paticca-samuppada (sebab musabab yang saling bergantungan) secara tidak langsung membentuk adanya suatu kebudayaan. Dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kebudayaan. Kebudayaan adalah cara hidup suatu penduduk; cara mereka bertindak, berbicara, berpikir dan hidup adalah ungkapan dari kebudayaan mereka. Tylor mendeskripsikan kebudayaan sebagai  “keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat dan kemampuan atau kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai warga suatu masyarakat.” (Tylor, Primitive Culture”, halaman 1).

Seperti upacara pernikahan atau kehidupan berkeluarga sebagai satuan dasar dari masyarakat. Dimana para lajang yang sudah cukup umur diharuskan menikah sebagai penerus keturunan dan pewaris keluarga serta norma yang tercipta dalam hidup bermasyarakat. Namun dalam pandangan agama Buddha ada beberapa alasan mengapa manusia itu melangsungkan upacara pernikahan dan menjalani hidup berumah tangga, yaitu :

        Sebagai kewajiban pribadi dan sosial
b)      Masih ada keterpikatan terhadap lawan jenis
c)       Sebagai pilihan hidup
d)      Sebagai akibat ikatan karma masa lalu yang harus diteruskan pada masa kini.
e)      Sebagai penyempurna parami

Secara praktisnya semua makhluk hidup di dunia ini muncul dan terlahir sebagai akibat hubungan seksual dan akibat dari karma (perbuatan).  Sang Buddha membedakan ada empat jenis pasangan:
*) seorang pria jahat dengan wanita jahat
*) pria jahat dengan wanita baik
*) pria baik dengan wanita jahat
*) pria baik dengan wanita baik.
Pasangan yang terakhir yang dipuji oleh Sang Buddha (Anguttara Nikaya).

2.       Hubungan Keluarga  Dalam Pernikahan

Hidup adalah sebuah pilihan, entah itu dari dalam diri ataupun dari luar diri. Setelah memilih kita wajib menanggung segala resiko yang timbul akibat pilihan tersebut. Jika seseorang sudah memutuskan untuk menikah harus ditanamkan sebuah komitmen untuk setia dan ikhlas menerima kekurangan dan kelebihan pasangannya. Yang didasarkan oleh rasa cinta bukan keterpaksaan dari pihak manapun. Sebuah pernikahan bukan hubungan antara pria dan wanita saja namun dalam norma masyarakat dan kenyataannya adalah penyatuan antara dua keluarga. Maka tidak heran jika pihak keluarga memilah dan memilih pasangan untuk anak-anaknya, ini dimaksudkan supaya anak-anak mendapatkan pasangan yang seimbang, baik dan menjaga nama baik keluarga. Dalam kondisi duniawi  yang semakin merosot perkembangan batinnya biasanya secara individu ataupun dalam hubungan rumah tangga kita pasti akan mengalami delapan faktor kondisi duniawi . Delapan hal tersebut adalah :
*) memiliki nasib baik, keuntungan.
*) tidak memiliki nasib baik, kerugian.
*) memperoleh kedudukan dan kekuasaan. (kemasyuran)
*) tidak memperoleh kedudukan dan kekuasaan. (nama buruk)
*) dicela.
*) dipuji.
*)mengalami kebahagiaan. (suka)
*) mengalami penderitaan. (duka)

Untuk mengatasi kondisi-kondisi duniawi ini kita harus belajar mengembangkan empat keadaan batin luhur atau biasa disebut Brahma Vihara. Empat macam kebajikan itu adalah :

1.       Metta – cinta kasih
Berarti cinta kasih universal, keinginan akan kebahagiaan semua makhluk tanpa kecuali, rasa persahabatan sejati. Sang Buddha pernah bersabda: “Ditengah-tengah orang yang membenci, hendaklah seorang hidup bebas dari kebencian.”

2.       Karuna – kasih sayang
Kecenderungan untuk meringankan penderitaan orang lain.

3.       Mudita – rasa simpati
Ikut merasa bahagia melihat orang lain berbahagia.

4.       Upekha – keseimbangan batin
Pandangan yang adil atau tidak berat sebelah, tidak terikat atau benci, tidak ada rasa senang dan tidak senang.

Dalam kehidupan berkeluarga, harus memelihara orang tua yang sudah lanjut usia, menyokong orang tua, mempertahankan kehormatan keluarga, meneruskan tradisi keluarga, melakukan persembahyangan yang layak pada waktu orang tua meninggal. Kewajiban anak terhadap orang tua dijelaskan dalam Sigalovada sutta oleh Sang Buddha. Intinya setiap individu dalam memandang tujuan pernikahan adalah berbeda-beda, Sang Buddha menganjurkan pada pembentukkan kepribadian yang baik melalui pelaksanaan sila (peraturan latihan moralitas), saling mengerti dan pemenuhan hak serta kewajiban masing-masing pihak.

3.       Hubungan Berkeluarga

Menurut pandangan Buddhis kebahagiaan dapat dicapai dengan melakukan sila (kebajikan moralitas), samadhi (meditasi), panna (kebijaksanaan). Dalam hubungan berkeluarga tujuannya adalah membentuk rumah tangga yang aman, damai, bahagia dan sejahtera. Bukan hanya dalam kehidupan sekarang namun ingin berlanjut berjodoh dikehidupan yang akan datang. Dalam Anguttara Nikaya II Sang Buddha menasehatkan keduanya harus seimbang dalam keyakinan (saddha), kebajikan (sila), kedermawanan (caga), kebijaksanaan (panna).
Sebelum memutuskan untuk hidup berumah tangga, sebaiknya perlu mempersiapkan diri secara mental spiritual dan materi. Bagaimanapun rumah tangga yang sejahtera adalah rumah tangga yang bebas dari hutang. Saling mengenal satu sama lain, karena komitmen bukan hanya dari satu pihak namun dari kedua pihak, tidak ada tekanan dari sisi manapun sebab jika keputusan membina rumah tangga karena rasa malu kepada tetangga dan teman justru akan menimbulkan keadaan yang menyengsarakan batin bukan kesejahteraan yang didapat. Pada bagian lain Sang Buddha menasehatkan bagaimana kita harus mencari nafkah dan menggunakannya untuk kehidupan kita:
Barangsiapa hidup saleh dan cerdas
Bersinar bagai api berkobar
Bagi dia yang mengumpulkan kekayaan
Bagai kumbang mengembara mengumpulkan madu
Tanpa menyakiti siapa pun.
Kekayaannya bertimbun bagai sarang semut yang meninggi.
Bila perumah tangga yang baik mengumpulkan harta, ia dapat membantu handai taulannya.
Dalam empat bagian hendaklah dibaginya harta itu,
Maka melekatlah padanya kemudahan-kemudahan hidup,
Satu bagian dibelanjakkan dan dinikmati buahnya,
Dua bagian untuk meneruskan usahanya.
Bagian keempat disimpannya baik-baik,
Untuk persediaan pada masa-masa susah dan sulit.
Kekayaan akan dapat membantu mengembangkan pembinaan moral pemiliknya, namun kekayaan itu tidak akan dapat dipertahankan untuk waktu yang lama apabila pemiliknya tidak hati-hati.


Referensi : PANDANGAN SOSIAL  AGAMA BUDDHA , Cornelis Wowor, MA. Penerbit Arya Surya Candra 1997.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Embun Cinta

Jodoh Dan Budhism

Let's Do It!