Embun Cinta
Halo gaes.. rasanya saya sedang membanggakan diri sendiri ini. No words to explain how good this.. "Kumpulan Cerpen Buddhis". Yes I know... Im nothing but I want to be something. Setidaknya ada hal kecil yang ingin saya lakukan sesuai hobi. Sedikit cerita saja sih, dulu waktu kecil sebenarnya saya sedikit suka mengarang dan inget banget tuh lagu-lagu kesukaan dari westlife. Dulu saya meskipun masih kecil ingin rasanya berpetualang menuliskan kisah-kisah yang saya lihat. Sampai akhirnya saya ke Bandung dan ketemu sosok yang namanya Willy Yanto Wijaya. He is very nice.. menularkan semangat belajar dan pantang menyerah. Sampai sekarangpun perjalanan hidupnya seperti sangat menarik bisa berkeliling dunia. Yang kedua ko Hartono, orang yang dingin dan cuek tapi kalo saya minta bantuan dia selalu siap. Yang ketiga Ko Chuang, walaupun kadang-kadang nyebelin dengan banyak masukannya tapi sosok koko yang saya idolakan. Yang keempat Willy Yandi Wijaya, orang yang menurut saya paling menyebalkan sejagad raya, sedikit banyak membantu inspirasi saya. Yang kelima Elza teteh saya yang sering mengomeli saya dan membuat saya terharu kadang sedih dan bahagia. Yang ke enam Ibu saya yang selalu mengingatkan saya untuk selalu maju menyongsong cita-cita.
Mereka adalah orang-orang yang mengingatkan saya bahwa saya bisa menulis walaupun sebenarnya tulisan saya tidak terlalu bagus. Beberapa tulisan saya kebanyakan cerpen sudah mengisi beberapa media buddhis dan non buddhis. Dan ada karya yang saya terbitkan secara online karena belum bisa tembus ke penerbit. Beberapa kali saya mencoba memasukan ke penerbit namun tidak layak terbit. Ya sudah tidak apa-apa saya menikmatinya. Hmm, tapi rasanya saya memang gak layak jadi penulis ha-ha-ha. By The Way meski begitu saya menyumbangkan karya saya untuk penulisan kumpulan cerpen buddhis yang pertama berjudul ASAL-USUL POHON SALAK. Dan tahun 2015 ini untuk kedua kalinya saya ikut project yang berjudul PENUNGGU POHON TUA. Keduanya terbitan Insight Vidyasena. Cerpen saya berjudul Embun Cinta, dimana waktu itu terinspirasi dari perjalanan saya ke Bromo, saya membawa satu nama di hati tapi cerpen itu fiktif semua sih ha-ha-ha. Oke, thanks for everything untuk orang-orang yang saya sebutkan. Lain kali mungkin saya tidak menulis cerpen bertemakan cinta.
Siap gaes... baca ya semoga saya bisa membawa kalian berimajinasi dan memang cerpen ini jauh dari sempurna :)
Sinopsis
cerpen “Embun Cinta”
Luna merasa patah hati karena cinta yang tidak
berbalas pada sahabatnya Gilang yang lebih memilih gadis pujaannya. Disisi lain
Luna masih mencintai gilang dengan segenap hatinya. Luna memilih pergi berlibur
meninggalkan cerita tentang Gilang dan bertekad meluapkan bebannya dengan
berteriak di puncak Bromo dan pada akhirnya Luna menemukan sesuatu yang tak
pernah ia bayangkan sebelumnya. Rangga. Cinta datang dan pergi tanpa permisi
seperti embun pagi yang selalu hadir dengan kelembutannya.
Luna
sedikit menyesal karena celana yang dia pakai agak kebesaran sehingga terlihat
lebih berisi dan merasa iri dengan gadis-gadis lain yang memakai baju ketat pas
dengan lekukan tubuhnya dan celana jeans pendek dengan sepatu dan bentuk rambut
terurai bak artis Korea. Cantik. Ya, mereka terlihat cantik. Luna merasa sedang
berada di Korea, terbayang salju, udara dingin dan cowok ganteng. Luna teringat
Gilang, lelaki pujaannya yang memberikan sejuta inspirasi sekaligus sahabat
dekatnya. Cowok bermata sipit yang humoris serta berperawakan tinggi dengan
suara lembutnya yang menggetarkan hati. Tujuh tahun sudah Luna memendam rasa
cinta yang tak kunjung berbalas. Sampai tiba waktunya tepat di hari ulang tahun
Gilang, Luna diperkenalkan dengan wanita pujaan Gilang. Sosok wanita yang
sempurna, tinggi semampai, rambut panjang lurus terurai dengan penampilan
feminim bak seorang putri. Senyum yang ditunjukkan Luna adalah bentuk rasa
cinta yang teramat dalam kepada Gilang. Hati Luna hancur, Luna menangis dan
ingin pergi sejenak melupakan lara. Jatuh cinta, layu sebelum berkembang. Luna
ingin berteriak bebas mengeluarkan kata-kata cinta yang tertahan. Dan Luna
memilih Bromo sebagai tempat pelampiasan kata-kata yang membuat sesak di dada.
Dan seketika dia sadar, cuaca memang dingin
bahkan dia pun menggigil kemudian bersyukur dengan celana yang kebesaran, jaket
yang kebesaran, syal, sarung tangan dan kupluk yang dikenakannya. Kadang pikiran yang berlebihan mengacaukan
segalanya, baik dan buruk tidak ada yang tahu, cukup merasa puas dengan yang
dimiliki. Dalam hati, Luna terkekeh menertawakan gadis-gadis itu kedinginan
berebut syal kepada penjual perlengkapan aksesoris musim dingin. Pikirannya
memang kadang-kadang diluar kendali sebentar merasa terasing sebentar lagi
merasa menang dan merasa paling penting. Entahlah, dia sendiri masih bingung
apa maunya. Handphonenya bergetar tanda pesan masuk.
Dari
Gilang : Dimana? Hang out yuk?
Luna
hanya membaca pesan tanpa membalas. Kemudian disusul deringan nada sambung,
Gilang menelepon. Luna membiarkan handphonenya bergoyang.
Rombongan
tur ke Bromo yang membawa Luna sudah berada di parkiran tinggal menunggu
beberapa jam menuju bukit Tengger dan akan berganti dengan kendaraan yang lebih
kecil. Disekeliling mereka gelap, Luna
melirik jam tangan yang menunjukkan pukul dua pagi. Mereka menunggu dengan
gelisah karena dingin dipelataran parkir, menunggu mobil yang akan membawa
mereka ke bukit Tengger. Mereka mulai berbicara satu sama lain dengan mulut
berasap, tertawa dan berbagi cerita. Senyum Luna sumringah, ini hal yang paling
dia tunggu seumur hidupnya. Kakinya terus bergerak-gerak mencoba melupakan apa
itu dingin namun tubuhnya masih menggigil. “Papih, mamih...” rengekan anak
kecil itu membuat Luna terhibur. Anak itu namanya Carol, dan adiknya bernama
Karin. Anak itu menghampiri Luna dan memberinya satu bungkus permen bertuliskan
‘good mood’ pernah terpikir seperti apa kelak rupa anak Luna. Ah, lagi-lagi pikirannya
bekerja terlalu jauh dan seenaknya sendiri.
“Terima
kasih Carol” ucap Luna. Bocah manis berambut pendek itu tersenyum. Gadis-gadis
yang berambut pirang, panjang terurai itu sedang sibuk memotret dirinya sendiri.
“Sama-sama
kakak,” jawab Carol. Luna segera memakan permen itu menikmatinya sambil menatap
ke arah Carol yang berlari menghampiri mamanya. Carol menatap balik Luna sambil
tersenyum Carol mengacungkan telunjuknya ke arah Luna. Dengan spontan Luna
melambaikan tangannya. Tiba-tiba wajahnya tegang dan merasa malu karena yang
membalas lambain tangannya adalah seorang lelaki berperawakan sedang, rambut
cepak, rapi, dan berkacamata hitam. Terlihat keren, Luna menjadi salah tingkah.
Perutnya merasa kembung dan seolah banyak hewan menari di dalam perutnya. Luna
memalingkan wajah sejenak kemudian melihat ke arah lelaki itu lagi tetapi yang
terlihat Carol dan Karin yang sedang bercanda. Dia... Luna menghembuskan
nafasnya dan tertawa sendiri. Ya mirip Gilang.
“Eh
sorry ya!” kata gadis-gadis berambut pirang yang tiba-tiba duduk disebelah Luna.
“Ya,
silakan.” Jawab Luna.
“Hah,
semoga kita ketemu cowok ganteng atau harta karun ya,” kata mereka sambil
tertawa. Luna menggelengkan kepalanya. Mereka menatap Luna sinis segera Luna
berdiri dan menggosokan kedua tangannya.
Mereka lagi-lagi tertawa kali ini menertawakan Luna yang merasa
kedinginan. Raut muka Luna sedikit tidak enak dipandang seolah berkata “masalah
buat lo!” tapi ya sudahlah, Luna tak menghiraukannya.
Tak
berapa lama kemudian, mobil datang untuk membawa mereka menuju bukit Tengger.
Mereka dibagi dalam beberapa kelompok supaya bisa berangkat semua. Rasa senang
membuncah, tidak sabar melihat keindahan alam. Luna ingin lari dari masalah
dunia, yang menjeratnya dari hari ke hari. Sepanjang hari setelah matahari
terbit hingga senja menjemput dan matahari pun tenggelam digantikan dengan
malam yang disambut bulan dan bintang. Kadang malampun tak berbintang, suram
tak bercahaya. Kadang Luna masih percaya dengan sinar yang akan memberi terang
tapi kadang gelap lebih menang menelan semua ambisi.
Mobil
melaju dengan kecepatan sedang, udara yang menyusup melalui kaca jendela mobil
membuat seluruh tubuh Luna serasa beku. Jalanan yang menanjak dan berkelok-kelok
mengguncang perutnya dan hampir saja mual. Untunglah pikirannya
menyelematkannya dengan melayang jauh membayangkan hal yang ingin dia bawa ke
puncak Bromo. Luna duduk paling depan dekat sopir, dia memandang ke sekeliling
dan menengok ke belakang. Cepat-cepat pandangannya di tarik ke depan, lelaki
yang membalas lambaian tangannya yang berbicara pada Carol saat ini sama-sama
berada didalam mobil yang sama. Jantungnya berdegup lebih kencang dan matanya
berbinar. Luna melihat Gilang pada sosok lelaki itu. Segera Luna mengusap kedua
bola matanya, rasa itu selalu membayanginya. Luna ingin menjadi orang yang
lebih baik, semua orang bisa melakukan dan mengucapkannya hanya saja Luna ingin
menapakkan kaki di puncak Bromo menerima anugrah indah dari alam yang hanya bisa
dirasakan ketika Luna berdiri di sana. Dan ada hal lain, ini tentang keyakinan
dari hati. Luna ingin berteriak bebas di atas gunung.
Setelah
kurang lebih dua jam perjalanan, sampailah mereka di bukit Tengger waktu subuh.
Mobil Landrover banyak terparkir yang akan membawa mereka menuju lautan pasir
sebelum menaiki puncak Bromo setelah subuh nanti. Banyak orang sudah berkumpul
menghadap ke bukit menanti sang raksasa siang menampakkan dirinya. Serasa
berada di dalam kulkas, minum kopi serasa minum air biasa. Dan yang di nanti
pun muncul, semua tercengang dan Luna sendiri pun takjub seraya berkata wow!
Luna tersenyum lebar sambil menatap matahari terbit dengan mata berkaca-kaca.
Dia semakin dekat dengan apa yang dinantinya.
“Indah
banget ya?” kata seseorang yang berada dibelakang Luna. Luna menoleh dan
mengusap matanya.
“I...ya.”
balas Luna. Lelaki itu lagi, kali ini jarak mereka sangat dekat.
“Saya
Rangga, kakaknya Carol,” ucapnya.
“O...
saya Luna.”
“Apa
yang membawamu ingin berada di sini?”
Luna
terdiam sejenak. Bahkan suaranya mirip Gilang.
“Saya
hanya ingin berteriak.” Balas Luna.
Rangga
tertawa ringan kemudian mengangguk lalu Carol memanggil Rangga meminta di
potret. Semua orang sibuk dengan kameranya sedangkan Luna sibuk dengan
pikirannya sendiri. “Orang aneh!” bisik Luna.
Menatap
indahnya matahari beranjak keluar dari peraduannya itu seperti memandang diri
sendiri yang lahir kembali dari noda kegelapan perlahan terang semakin terang
dan pada akhirnya redup kembali. Kesunyian terpecahkan dengan suara-suara
kamera dari para wisatawan yang berdecak kagum. Keindahan ini belum berakhir,
setelah puas berfoto mobil landrover membawa Luna dan yang lain menuju lautan
pasir. Dalam perjalanan supir mobil bercerita bahwa biasanya pada sekitar bulan
sepuluh ada festival kasada tahunan di mana suku Tengger datang ke Bromo
melemparkan sesajen yang terdiri dari sayuran, ayam, dan uang ke dalam kawah
gunung berapi. Rasa penasaran semakin berkecamuk dengan mata berapi-api Luna
menyiapkan kamera saku. Jalanan menurun tajam menahan nafasnya dan kaki serasa
kram, supir nekad karena terbiasa dengan kondisi lalu lintas yang tidak
beraturan.
Luna
tak mampu berkata apapun hanya perasaan senang yang ringan seperti berteriak
menghapus beban. Lautan pasir terhampar luas, terlihat mengagumkan saat
matahari menyapukan sinarnya yang kejinggaan di pagi hari. Luar biasa, matanya
hidup. Luna berlari sekuat tenaga menikmati indahnya alam yang tak bisa dia
dapatkan disembarang tempat. Dibelakangnya menjulang gunung yang berdiri kokoh
dengan rerumputan hijau, Luna menari dan berteriak tak peduli orang mau
berpikir apa. Nafasnya mulai sesak karena udara yang terlalu dingin dan debu pasir
yang beterbangan. Segera dia sadar bahwa dia harus menghemat tenaga untuk
memanjat menaiki tangga ke puncak Bromo.
Matahari
terbit, lautan pasir, berkuda dan secangkir minuman hangat mungkin itu salah
satu keindahan menikmati hidup. Mata Luna menatap ke atas pada anak tangga yang
akan membawanya di puncak teratas Bromo. Luna mengayunkan langkahnya setapak
demi setapak untuk mencapai 250 anak tangga terakhir di atas sana. Ditengah
perjalanan rasanya ingin menyerah, nafasnya sudah tersengal dan mau habis. Luna
berhenti sejenak menarik dan membuang nafas. Berdiri menatap sekeliling yang
dipenuhi lautan pasir dan Luna serasa berada di atas awan. Luna meneteskan air
mata, sampai disinikah dia harus berhenti? Hanya ditengah-tengah yang tidak
tahu arah tujuan. Bahkan di bawah sana masih banyak yang berjuang untuk
mencapai puncak. Para turis dengan muka cemong, wisatawan yang bermandikan
keringat dan ketika memandang ke atas mereka bersemangat tanpa mengeluh menatap
pada tujuannya. Luna menyapu air matanya, sekarang atau tidak sama sekali. Sama
halnya dengan hidup Luna tidak akan menjadi berarti jika dia sendiri tidak tahu
arah tujuan hidupnya. Hanya mengambang dan akhirnya menyesal dan semua itu
sia-sia. Dengan tekad yang kuat dan
berusaha maka segala yang tidak mungkin menjadi mungkin.
“Mari
kubantu?” Rangga tiba-tiba muncul mengulurkan tangannya. Luna hanya menatapnya
tanpa berkata apa-apa dengan nafas yang masih tersengal-sengal.
“Wei,
silakan?” ucap Rangga lagi. Luna meraih tangan Rangga. Melanjutkan setengah
perjalanan yang masih tertunda.
Semangat
itu muncul kembali pada detik-detik ketidakberdayaannya. Luna bersyukur masih
diberi kesempatan untuk memilih, langkahnya maju tak gentar meski semakin ke
atas nafasnya semakin menyempit. Dan aahh... akhirnya Luna sampai di puncak. Setelah
perjuangan yang sempat dia ragukan. Celana panjangnya di penuhi debu yang
menempel serta makser yang sudah layak dibuang. Fuuhh... seperti orang yang
baru menemukan harapan, Luna menatap langit biru yang terbentang luas, di sana
harapannya selalu digantungkan dan didalam hatinya Luna selalu bertekad dan dengan
langkah serta keyakinan Luna percaya bisa mewujudkannya. Dan apa yang ingin kau
ucapkan setelah sampai di puncak Bromo hey gadis? Luna tersenyum girang
melupakan segala lelah yang mendera, segala beban yang dipikul, segala pilu
yang bersandar. Yang Luna tahu hatinya damai, bersinarlah matahari pagi selalu
berilah harapan pada hidup dan orang-orang yang kehilangan arah ataupun yang
sedang menapaki jejak hidup. Memberilah tanpa pamrih karena sesungguhnya kita
tidak akan kehilangan apa-apa, seperti matahari.
Luna
berdiri tegak, menatap ke bawah dilihatnya gadis-gadis pirang itu menaiki kuda
dan kembali keparkiran mobil tidak berkesempatan berpijak di puncak Bromo. Lalu
Luna menatap ke dalam kawah Bromo dan berkata dalam hatinya.
“Semoga
di puncak Bromo ini aku menemukan cahaya yang akan membimbingku menunjukan arti
hadirku”
Luna
membalikan badan dan membuka matanya, tepat di depannya Rangga tersenyum dan
melambaikan tangannya.
“Halo
Kak,” teriak Carol dan Karin yang tepat berada di belakang Rangga.
“Hai..”
balas Luna dengan raut muka bersemu merah.
“Ayo
kita berteriak bersama-sama,” ajak Rangga. Luna mengangguk.
“Gilaaaaaaaaaaaang....”
teriak Luna.
“Lunaaaaaaaaaaa...”
teriak Rangga.
Mereka
saling menatap kemudian terkekeh bersama. Ketika harapan satu hilang, harapan
akan muncul ditempat dimana yang tidak terduga. Luna membalas pesan Gilang.
“Aku
berada di puncak Bromo seperti yang kumau.”
Dan Luna tersenyum bangga, bahwa
hidup harus terus bergerak mengikuti putaran roda dan waktu. Karena hanya
waktulah yang akan membuat segalanya baik-baik saja.
Slotz Casino Site
BalasHapusWith over 2000 games and the largest Bitcoin gambling community, we couldn't luckyclub be more proud to have established a safe place to play with the best Rating: 4 · 4 votes