Guan Shi Yin Pu Sa
Guan Shi Yin Pu Sa (Bodhisatwa Avalokitesvara)
Dari dulu sampai sekarang saya selalu penasaran dengan sosok Bodhisatva
avalokitesvara atau dalam bahasa Tionghoa biasa disebut Guan Shi Yin Pu Sa. Dahulu
saya pernah bertanya apakah sosok Bodhisatva Avalokitesvara ini adalah
perempuan ataukah laki-laki? Saya Cuma tahu sekilas dari film kera sakti yaitu
sosok lelaki anak seorang Raja yang dijodohkan dengan putri tetapi tidak
tertarik dengan hal duniawi justru meninggalkan semua harta dan keluargannya
untuk menjadi pertapa yang kemudian diakhir cerita untuk menyadarkan wanita
yang dijodohkan dan sangat mencintainya lelaki itu setelah mencapai pencerahan
berubah wujud menjadi sosok dewi yaitu dewi kwan im. Samakah Dewi Kwan Im
dengan Bodhisatva Avalokitesvara?
Dalam sebuah buku Buddha dan Bodhisatva Dalam Agama Buddha Tionghoa hal
57 dijelaskan alasan mengapa Guan Yin berwujud wanita adalah karena pengaruh
ajaran Konghucu terhadap sikap, kebiasaan, dan tata sosial yang melarang-cegah
kaum wanita memohon penghiburan dan lipur lara dari para dewa dan Bodhisatva
pria, terutama untuk memohon keturunan. Guan Yin memiliki 33 perwujudan yang
digunakan untuk menghampiri umat manusia.
Legenda Miao Shan
Legenda perwujudan Guan Yin sebagai Putri Miao Shan mendapat tempat di
sanubari semua orang Tionghoa. Bagi mereka, suda umum diketahui bahwa Guan Yin
adalah wujud tercerahkan dari putri kesayangan mereka. Karenanya, Guan Yin,
Dewi Welas Asih mereka, tidak mungkin merupakan dewa atau Bodhisatwa laki-laki.
Malahan, inilah pandangan mati dari penganut Taoisme dan mereka yang tidak
begitu mengetahui agama Buddha. Siapa yang benar-benar bisa menyalahkan mereka
yang menganut pandangan seperti ini? Apalagi legenda ini mengisahkan seorang
putri yang sedemikian lembutnya yang lalu berubah menjadi dewi. Dan apalagi
legenda ini dikisahkan terjadi hanya dua ribu tahun lalu, di sebuah negeri yang
sejarahnya tercatat baik hingga lima ribu tahun yang lalu.
Di penghujung pemerintahan Dinasti Zhou (sekitar abad ketiga SM), di
kerajaan Xing Lin, hiduplah seorang raja yang bernama Miao Zhuang. Beliau
memiliki tiga putri yang bernama Miao Yuan, Miao Yin dan Miao Shan. Sebelum
kelahiran putri ketiganya, Ratu Bao De (Bao De Huang Hau) bermimpi aneh. Dalam
mimpinya ia melihat sebutir mutiara surgawi berubah menjadi matahari yang
sangat terang, yang lalu terjatuh dan berdiam di kakinya. Ketika diceritakan
padanya, dengan kebijaksanaannya sang raja menganggap bahwa melihat pertanda
surgawi seperti ini adalah pertanda baik, dan ia menantikan kelahiran putra
mahkota untuk mewarisi tahta kerajaannya. Akan tetapi, ia sangat kecewa karena
yang lahir adalah seorang putri. Ini terjadi pada tanggal 9 bulan 2. Putri ini
diberi nama Miao Shan.
Miao Shan tumbuh menjadi gadis yang religius dan baik hati, serta tak
tertarik pada hal-hal duniawi. Yang ia dambakan hanyalah melakukan retret sunyi
di pegunungan, tempat ia dapat melatih kesempurnaan kebajikannya. Ia
mendambakan untuk bisa menolong semua makhluk malang di bumi ini.
Tatkala semua putrinya mencapai usia menikah, raja mencarikan suami
yang cocok untuk mereka. Kakak-kakaknya setuju menikah. Akan tetapi, Miao Shan
menolak menikah. Ia membuat ayahnya marah dengan memilih masuk ke sebuah biara
biksuni, yang disebut Biara Pipit Putih (Bai Que Si).
Ayahnya beberapa kali berusaha untuk membuat kehidupan biara itu tak
tertahankan bagi putrinya yang lembut ini untuk membujuknya kembali ke istana.
Namun, semua usahanya ini gagal karena secercah derita tidaklah mungkin
menghalangi seseorang yang sudah bertekad menapaki jalan Buddha. Dalam
murkanya, raja memerintahkan agar biara tersebut dibakar karena putri tak
berbakti semacam itu patut untuk mati. Namun, api itu langsung padam oleh hujan
deras yang menyelamatkan hidup sang putri dan ratusan biarawati lainnya. Raja
yang murka itu kemudian memerintahkan untuk menghukum mati Miao Shan. Tetapi,
ketika pedang si algojo menyentuh leher sang putri, pedang itu hancur
berkeping-keping! Ini membuat raja begitu marahnya sehingga berikutnya ia
memerintahkan agar purtinya yang tak berbakti ini digantungkan mati dengan
seutas tali sutra. Namun tatkala si putri tengah digantung, dewa pelindung
dalam rupa macan raksasa, yang membubarkan kerumunan itu, lalu membawa mayat
tersebut ke hutan.
Jiwa Miao Shan turun ke neraka. Tetapi kelembutan dari kemurnian doanya
segera mengubah neraka itu dari tempat derita hebat menjadi seuah surga. Hal
ini membuat petugas Catat Hidup dan Mati, dengan tergesa-gesa memohon pada Yan
Luo, Sang Raja Neraka, agar sang putri dikeluarkan dari neraka. Raja Neraka itu
menyatakan “karena telah dititahkan bahwa, demi keadilan, harus ada surga dan
neraka, maka seandainya jiwa Putri Miao Shan tidak dikembalikan ke alam atas,
tidak akan ada neraka lagi yang tersisa, yang ada hanyalah surga.”
Jiwa sang putri lalu segera dikirim kembali ke tubuhnya yang tengah
terbaring di kaki sebatang pohon pinus. Setelah ia hidup kembali, Buddha
Amitabha muncul dan membimbing sang putri untuk melanjutkan praktik
kesempurnaan di Goa Xuan Ya, di pulau Pu Tuo.
Sembilan tahun lamanya ia tekun melakukan perbuatan bajik dan latihan
meditasi. Ia mencapai kebuddhaan. Di Pulau Pu Tuo itulah ia mendapatkan kedua
pengiring-Nya, yaitu Shan Cai dan Long Nu. Keduanya lebih dikenal sebagai bocah
Emas dan Dara Giok.
Sementara itu, Raja Miao Zhuang menderita sakit yang tak bisa
disembuhkan. Ini akibat dua kejahatan kejinya, yaitu (1) membakar sebuah biara
biksuni, yang hampir saja menewaskan begitu banyak orang dan (2) membunuh
seorang gadis yang begitu bajik seperti Miao Shan. Akibat kedua kejahatan keji
ini, ia dihukum oelh kaisar Giok (Yu Huang Da Di) dengan penyakit itu.
Satu-satunya obat adalah salep yang terbuat dari tangan dan mata dari seseorang
yang tidak pernah marah.
Menyadari derita Ayahanda-Nya, berkat kekuatan spiritual-Nya, dan
terdorong welas asih-Nya, Miao Shan segera memotong tangan-Nya dan mencungkil
mata-Nya, yang dikirimkan untuk menyembuhkan ayahanda-Nya. Sebagai tanda teria
kasih, raja kemudian mengirim utusan dengan para menterinya untuk berterima
kasih kepada sang penderma. Namun, alangkah terkejutnya sang raja ketika
mengetahui bahwa pemberian berharga yang telah diterimanya datang tidak lain
dari putrinya sendiri yang dulu telah ia bunuh. Ia sangat menyesal, sehingga
akhirnya melepas tahtanya dan memeluk ajaran Buddha. Dengan demikian,
berakhirlah legenda “sang putri yang tak berbakti,” yang akhirnya menjadi juru
selamat bagi ayahanda-Nya dan bagi segenap umat manusia.
Cerita selanjutnya silakan baca sendiri dalam buku Buddha dan
Bodhisatva Dalam agama Buddha Tionghoa hal 73 dan seterusnya. Banyak kisah
menarik yang menambah pengetahuan kita tentag ajaran Buddha khususnya dalam
kebudayaan Tionghoa. Akhirnya saya membaca kisah ini sendiri dan saya bagikan
di blog saya.
Metta citena
Lani
Komentar
Posting Komentar