Cerpen Buddhis
Dimuat di majalah Buddhis VDR edisi magha puja 2014
Aku
Lupa Caranya Jatuh Cinta
Oleh
: Lani
Aku
pernah merasa bahwa waktu terlalu lama berlalu, bahkan aku bisa merasakan detik
demi detik bergerak mengikuti putaran arah jarum jam. Tidak bisa memejamkan
mata meski hanya untuk beberapa saat. Membosankan dan rasanya dunia ini tempat
yang memuakkan. Tidak bisa merasakan kedamaian dalam senyum, dan otak terisi
penuh dengan ketidaknyamanan. Ada apa denganku? Aku bertanya pada diri sendiri
dan disekitarku. Kamu galau. Kamu banyak pikiran. Kamu minum kopi. Itu jawab
mereka. Mungkin aku tidak memikirkan apa-apa, bahkan memikirkan mimpi pun
tidak. Aku tidak tahu, aku hanya ingin tidur memeluk gulingku melupakan semua
dan merasakan kenyamanan yang biasa kudapatkan seperti hari-hari sebelumnya.
Suara
gemuruh hujan melengkapi hari menjelang malam, tidak ada senja yang dihiasi
sunset nan indah. Rintikan-rintikan air itu menggelayuti tubuhku yang menerabas
jalanan dengan sepeda motor yang kunaiki. Teringat masa kecil dimana aku akan
berlarian kesana kemari mengejar hujan yang menari-menari diantara kaki
mungilku. Berenang di kolam bersama kodok-kodok yang bernyanyi riang menyambut
musim hujan. Menangkap kecebong-kecebong yang berenang berkejaran satu sama
lain. Mandi air hujan itu sesuatu yang menyenangkan bahkan dinanti-nanti pada
saat itu. Karena hujan membawa semua berkah mengalir di bumi yang akan
memunculkan musim semi dan masa panen.
“Teeeeettt!”
bunyi klakson mobil menyadarkanku yang sudah terlanjur basah kuyup. Aku tidak
sebahagia dulu merasakan hujan menari-nari disekelilingku. Bahkan mungkin aku
bisa sakit setelah hari ini berlalu. Wajahku bagai mendapat tusukan jarum
karena tetesan-tetesan air yang menyerang wajahku seolah ingin bersendau gurau
dan berbicara tentang banyak hal. Ya, aku ingin bicara pada hujan. Memintanya
untuk berhenti sesaat menggodaku dan menertawakanku. Beberapa saat kemudian,
setelah aku sampai di depan rumah, hujan pun berhenti. Setelah puas membuatku
kedinginan dan bernostalgia dengan masa kecilku. Aku tersenyum sinis. Aku
memarkir motor di garasi dengan tubuh yang menggigil. Bergegas menuju kamar
mengambil pakaian ganti lalu mandi. Luar biasa. Hidup ini memang tidak terduga,
yang terjadi kadang diluar dari apa yang kita harapkan.
Suara-suara
bising kembali terdengar meramaikan jalanan. Alarm handpone berbunyi, aku tidak
ingat tanda apa yang kutandai. Sebab aku tidak mau mempunyai hari-hari khusus,
semua hari adalah sama baiknya, setidaknya itu adalah sugestiku. BIRTHDAY
RADIT. Kupicingkan mataku, apa gunanya? Kutaruh kembali handphoneku diatas
meja, kusisir rambutku yang masih basah sambil memandangi diri pada cermin. Bel
berbunyi dan aku bergegas membuka pintu.
“Martabak
on my mind!” kulihat Cindy dan Tika berdiri dan tersenyum sambil berseru dengan
bangganya. Ya, aku suka itu. Martabak. Hmm, yummi. Kedua wanita itu menerobos
masuk menuju dapur, menyiapkan teh hangat tawar rasa vanila kesukaan kami.
Sudah bisa ditebak kalau wanita sudah bersama dan berkumpul dua atau lebih itu
sudah menjadi organisasi yaitu organisasi ngerumpi dan curhat. Entah itu
ngerumpiin diri sendiri, orang lain, gebetan, keluarga atau belanjaan diskon.
“Eh
aku lagi seneng banget, musim semi nih,” kata Cindy antusias. Wajahnya merah
merona dan matanya berbinar-binar. Tapi tidak semenarik rasa martabak yang
sedang kulumat dan kunikmati. “Wah-wah... akhirnya!” seru Tika. “Ya asal musim
gugur tidak terlalu cepat datang he-he-he,” celetukku. Kami tertawa. Antara
menertawakan aku atau diri mereka sendiri. “Terus-terus gimana kelanjutannya?”
tanya Tika penasaran. Cindy masih malu-malu melanjutkan, matanya berkeliling
mencari sesuatu. Namun ia tidak menemukan apa yang ia mau. Hanya ada
setumpukkan buku yang berantakandan memang belum sempat kubereskan. Belum ada
waktu, tepatnya niat belum menggerakan tangan. “Dia sudah memegang tanganku,”
jawab Cindy menggebu-gebu disusul teriakan Tika yang histeris. “Malu tapi
seneng, untuk pertama kalinya kami bisa sedekat itu,” lanjut Cindy. Tika
terpukau, aku pun bisa merasakan bahagia yang dirasa Cindy. Jatuh cinta memang
mengagumkan. “Wow, keren! Itu tandanya dia tertarik sama kamu Cin,” Tika
menimpali. Martabak tinggal sepotong, tanganku mengambil duluan meski sempat
berebut dengan Tika. Nikmat.
“Gak
tau juga sih, mudah-mudahan sih iya ha-ha-ha,” balas Cindy. Kami terkekeh.
“Hayo giliran Lena nih, move on dong cari yang lain,” Cindy menatapku yang lagi
asik dengan kunyahan martabak terakhir. “Iya Len, resolusi tahun baru dong,
berubah,” sambung Tika. “Hmm...” aku memandangi mereka yang sedang menungu
jawaban dariku. Jarum jam terus berputar, suasana berubah hening.
Kalau
cinta bisa dicari dimana saja seperti membeli baju itu akan sedikit lebih mudah
dan jika berubah segampang membalikan telapak tangan mungkin dunia ini akan
lebih baik lagi. Ada cinta yang memang harus terbalas, ada cinta yang hanya
sekedar mengagumi, ada cinta yang memang hanya dimiliki oleh satu pihak, ada
cinta yang hanya dibibir, dan ada cinta yang memang benar-benar sebuah cinta.
Ah... aku benci harus ditanya dan menjawab soal ini. Apalagi pertanyaan yang
remeh temeh tapi tetep harus dijawab. Lamunanku kembali pada Radit. Seseorang
yang secara tidak langsung membuatku seperti ini, tertawa, menangis sendiri
dibalik layar kehidupannya.
Masih
teringat jelas, pertama kali aku bertemu dengan Radit. Wajah kami malu-malu,
Radit pura-pura sibuk dengan handphonenya sementara aku puas memandanginya.
Jantungku rasanya mau melompat keluar padahal sebelumnya kami sering bertengkar
dalam SMS atau pun telepon. Radit bicara padaku dengan suara lembutnya dengan
tawa yang ringan, kupandang matanya dalam-dalam. Aku suka mata itu, mata yang
membuatku melayang dan merasa nyaman sekaligus malu. Bunga-bunga seolah
bermekaran dan dihinggapi kupu-kupu yang menari. Ingin sekali aku memegang
tangan itu, tangan yang selalu sibuk dengan handpone. Dia pria yang biasa dan
sederhana tapi cerdas, aku tidak tahu apa alasan menyukainya. Mungkin seperti
ini rasanya jatuh cinta, sejuta perasaan yang ada hanya bahagia tatkala
bertemu. Aku hanya mengikuti hati kecilku, mencintainya dengan caraku dan
kunikmati caraku. Radit tidak bisa mengumbar kata cinta namun dia tahu caranya
membuatku tersenyum.
Akan
tetapi disaat cinta tercipta dan aku meminta ketegasan Radit, jawaban yang
masih tersimpan dalam hati adalah “Jangan sama aku karena aku bukan orang
kaya,” sebuah kalimat yang melukai serta mencabik hatiku. Derai tangis mengalir
tanpa dia ketahui. Bukan masalah dalam kalimatnya tetapi makna dari kalimat
itu. Radit terlalu mencintaiku atau dia benar-benar tidak menginginkan
kehadiranku.
“Woi!
Kok melamun?” Tika menepuk pundakku. “Iya, ayo Len. Pasti banyak kok yang suka
sama kamu tinggal pilih saja dan didiskon dikit aja,” lanjut Cindy. Aku
tertawa, menggelengkan kepala. “Ih, kok ketawa? Tika aja udah mau merid tuh,”
Cindy menengok ke arah Tika sambil melirik. Aku hanya tersenyum menanggapi
mereka. Bagaimanapun cinta adalah soal perasaan yang siap dengan kerelaan.
“kalian
gak mau pulang?” tanyaku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas
malam. Buru-buru mereka bersiap memeriksa handphone dan tas. Cindy mendapat
sepuluh panggilan masuk dari mama-nya, Tika lima belas panggilan masuk dan lima
pesan dari tunangannya. “Wah kalo sudah ngumpul begini ya lupa waktu” Tika
nyengir. Dan well, mereka pulang seperti biasa meninggalkan piring-piring dan
gelas kotor. Aku menghembuskan nafas. Aku memang sudah lupa caranya jatuh cinta
karena belum ada cinta yang benar-benar datang memilihku atau aku yang belum
siap untuk menemukannya dan merasakannya.
Kakiku
melangkah ke kamar, kuambil handphone dari atas meja. Ku pencet nomer yang
hafal diluar kepala lalu ku ketik pesan SELAMAT ULANG TAHUN lalu kukirim.
Kubaringkan tubuhku sambil memeluk guling dan berkata waktu terlalu singkat
untuk kusia-siakan.
Komentar
Posting Komentar