Cerpen Buddhis
Cerpen di muat di majalah Buddhis VDR tangerang edisi asadha 2014
Bintang
Yang Tersenyum
Oleh
: Lani
Pagi
selalu mengingatkan Dinda tentang sebuah kesempatan. Kehidupan baru yang tidak
akan pernah sama dengan hari-hari sebelumnya. Tentang sebuah harapan dan
kemungkinan yang akan selalu ada selama masih mau berusaha. Menikmati hidup
dengan cara yang berbeda karena hidup adalah tentang bagaimana kita yang rasa.
Dinda menatap langit biru dengan kemegahan yang membahana mengingatkan dirinya
bahwa dia sangat kecil dan hampir tidak berarti seperti debu yang mudah tersapu
angin. Tangannya membentang dengan perlahan menutup matanya, merasakan angin
yang lembut menggelayuti seluruh tubuhnya. Sekarang dia berharap hujan
tiba-tiba turun membersihkan dirinya dari debu-debu yang menempel terutama debu
didalam hatinya. Tentang segala amarah yang ingin dilenyapkannya, dunia ini
terlalu indah untuk dikotori dengan perasaan-perasaan yang menyiksa diri.
Namun, selalu ada saja rasa yang menyamar dan menyusup menggerogoti relung
hati.
“Dindaa..”
suara itu menggema ditelinganya. Dinda tak bergeming, melanjutkan doanya
meminta hujan. Mengucapkan kata berulang-ulang, “datanglah hujan, aku siap
menyambutmu dengan kedua tanganku”. Langit biru menertawakannya, desiran angin
pun turut mengejeknya. Tidak mungkin hujan akan turun di tengah matahari terik
yang berpesta. Seseorang menepuk pundaknya, Dinda membuka mata perlahan
kemudian memicingkan matanya. “Apa yang kau pikirkan Dinda?” tanyanya.
Pandangan mata Dinda mulai jelas melihat sesosok lelaki yang tidak diharapkan
tetapi selalu ia rindukan. Delon.
“Apa
urusanmu?” jawab Dinda tidak bersahabat.
“Tak
ada, aku hanya memikirkanmu.” Kata Delon sambil tersenyum.
“Apa
yang kau pikirkan tentang aku?” Dinda menatap Delon, kali ini serius.
“Hmm,
aku suka kamu yang periang dan baik hati.” Balas Delon sambil mesem. Dinda
mengangkat alisnya. Setiap orang ada kalanya berubah karena sebuah alasan,
memang tidak semua orang menyukai perubahan setidaknya dengan berubah akan
mengubah keadaan menjadi lebih baik, mungkin. Pikir Dinda. Delon menarik tangan
Dinda, mengajaknya duduk dibawah pohon menikmati angin sepoi. Dinda
menghembuskan nafas, kali ini ia memandang jauh tepat di depan matanya, sebuah
imajinasi yang kadang membuat dirinya merasa lebih baik.
“Apa
yang kamu benci di dunia ini Dinda?” tanya Delon.
“Kecewa.
Aku benci dikecewakan!” jawab Dinda tegas. Tidak ada rasa yang paling
menyakitkan selain kecewa. Ketika berdiri, berjalan, duduk, ataupun berbaring
kecewa membuat perasaan tidak tenang. Kebencian membakar kebaikan yang Dinda
miliki, Delon melihatnya dengan jelas dimata Dinda. Delon hanya menatap Dinda
dengan senyuman dibibirnya.
“Siapa
yang sudah membuat wanitaku kecewa sih?” goda Delon. Dinda menatap Delon balik.
Selalu saja aku tidak mengerti tentang dirimu, berulang kali kau membuatku
kecewa berulang kali pula kau yang selalu bisa mencairkan perasaanku. Aku
selalu ingin membuangmu namun kau selalu datang diwaktu yang tepat. Saat aku
mulai memilih pria lain, kau diam dan membiarkanku. Lalu aku hanya berfikir kau
yang terbaik. Kau menghilang tanpa jejak dan seketika bisa datang tanpa diduga.
Kau teman terbaik dalam ketidakberdayaanku. Imajinasi terhebat yang
melambungkan khayalku tentang cinta. Kau Delon. Aku ingin berhenti memujamu
dengan kotak sejuta mimpi. Jangan menghampiri dan menghiburku. Lamun Dinda.
“Banyak
hal. Aku kecewa sama kamu, dengan teman-teman yang hanya menghampiriku saat
tertawa, dengan orang yang menolakku, dengan orang-orang yang menuntutku untuk
berubah dan dengan keadaan saat ini.” Dinda berdiri.
Delon
memanggil penjual es cream, membeli dua bungkus. Dinda sangat suka es cream
rasa coklat. “Dinda, bonus buat kamu,” Delon menyodorkan es cream rasa coklat.
Dinda menolak namun Delon memaksa dan Dinda pasrah melahapnya dengan senang.
“Apa
kamu merasa lebih baik?” Delon memegang tangan Dinda.
“Ya,
sesaat. Terima kasih.” Balas Dinda.
Dinda
menatap kedua bola mata Delon. Mereka berdua bertatapan. Seolah saling bicara
bahwa tidak ada yang perlu dirasa kecewa ataupun marah. Kadang tidak ada yang
lebih baik dari saat ini. Saat kemarin dan besok seperti ilusi tapi saat ini
adalah kunci membuka hati. Hidup tidak selalu berjalan seperti apa yang kita
inginkan namun hidup tergantung dari apa yang kita pikirkan. Tapi aku ingin
benar-benar marah terhadapmu Delon. Sampai kapan aku menjadi bagian yang dengan
mudah kau lupakan dan ingat. Aku ingin bebas seperti burung yang terbang
melintasi awan.
“Apa
kamu masih menginginkan hujan Dinda?” Delon mengalihkan pandangannya.
“Ya,
aku ingin menghapus semua debu yang sudah mencemari pikiranku.”
“Baiklah
kita berdoa bersama. Jika hujan tak kunjung turun, malam nanti akan ada banyak
bintang di langit dan semua maumu akan terwujud.” Delon mengedipkan matanya.
Kali ini Dinda tersenyum. Bagaimana pun wanita menyukai kata-kata gombalan yang
membuatnya tersenyum renyah.
Malam
pun tiba. Dinda dan Delon masih setia di bawah langit. Bintang-bintang
bermunculan tak terhingga. Dinda berlari dan bernyanyi. Meski kenyataan tidak
seindah mimpi selagi ada rasa yakin dan percaya tidak ada yang tidak mungkin.
“Delon
bolehkah aku pinjam kantongmu?” teriak Dinda. Delon mendekat dan tertawa.
Kebiasaan Dinda saat melihat bintang jatuh dia akan memegang kantong orang lain
dan mengucapkan beberapa patah kata. Bintang yang paling terang bersinar
menerangi hati Dinda menghapus jejak kebencian yang berkecamuk dalam dada.
Hidup adalah perubahan, suka tidak suka itulah kenyataannya.
“Terima
kasih Delon sudah menjadi sahabatku,” ucap Dinda.
“Terima
kasih juga sudah menjadi wanitaku,” Delon tertawa lepas. Dinda tersenyum sambil
mengacak-acak rambut Delon.
Ya
tidak menutup kemungkinan. Apapun bisa terjadi entah itu baik ataupun buruk.
Jantung Delon berdegup kencang. Dinda menunjuk satu bintang, yang akan selalu
tersenyum dalam suka maupun duka yang akan selalu menginspirasi dan menerangi
jiwa yang sepi. Delon.
Komentar
Posting Komentar